Cerita Singkat Kisah tentang Tan Malaka dan Sejarah PKI Zaman Belanda dan Jepang
Pondasi Pemikiran
Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool, Bukittinggi. Ini bukan sekolah sembarangan, hanya keluarga orang penting atau priyayi saja yang bisa masuk kesana. Ia adalah murid yang cerdas. “Nilainya tidak ada yang 9, semuanya 10.” Kata Zulfikar ke Najwa Shihab. Melihat kecerdasannya, G.H Horensma, salah satu guru di Kweekschool membantunya supaya bisa melanjutkan kuliah di Belanda. Setelah lulus dari sekolah, Ibra diberi 2 pilihan oleh orang tuanya yaitu, menikah dengan gadis pilihan orang tuanya, atau menerima gelar Datuk. Ibra memilih pilihan ke-2. Kini namanya menjadi Ibrahim Datuk Sutan Malaka. Pada tahun 1913, melalui sebuah upacara tradisional, gelar tersebut resmi melekat pada namanya.
Pada bulan Oktober 1913, Tan Malaka pergi ke Belanda untuk melanjutkan studinya di Rijkskweekschool di Haarlem, Belanda berkat bantuan dari gurunya dan bantuan dana dari para engku-nya di desa. Saat dia tiba disana, Harleem sedang diliputi aura kemiskinan akibat menghadapi depresi ekonomi, Tan Malaka mengalami kaget budaya disana. Ia tidak cocok dengan makanan disana. Di Harleem, Tan Malaka tinggal dengan keluarga miskin, E.A Snijder. Dia hanya memiliki uang saku 50 gulden per bulan. Karena kualitas hidup yang buruk, Tan Malaka terserang radang paru-paru, sejak saat itu dia tidak pernah dalam kondisi kesehatan yang fit. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul setelah dia membaca buku “De Franse Revolutie”, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Saat itulah ia membenci sistem kolonial Belanda, Tan Malaka juga terkesan dengan masyarakat Jerman dan Amerika, saking terobsesi dengan Jerman, Tan Malaka sempat mendaftar di tentara AD Jerman, namun ia ditolak, karena AD Jerman tidak menerima warga asing. Di Belanda, Tan Malaka bertemu dengan Henk Sneevliet yang merupakan salah satu pendiri Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi ini adalah cikal bakal terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI), Henk mengajaknya bergabung dengan Social Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV).
Pada tahun 1919, sepulang dari Belanda, Tan Malaka mendapat tawaran mengajar dari Dr. CW. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Disinilah Tan Malaka mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup rakyat jelata di Sumatera. Ia menyaksikan langsung penderitaan kaum buruh, yang sering ditipu karena tidak pandai berhitung, serta diperas keringatnya dengan upah yang rendah, hatinya saat itu tergerak jadi, berbagai upaya ia lakukan untuk membantu rakyat kecil. Ia menulis artikel berjudul “Tanah Orang Miskin” yang mengangkat tema perbedaan antara kaum kapitalis dan kaum pekerja, ia juga menulis penderitaan para kuli kebun teh yang dimuat di Sumatera Post.
Pada tahun 1921, Tan Malaka pindah ke Yogyakarta. Tan Malaka menghadiri kongres sarekat Islam (SI). Disini dia bertemu dengan beberapa tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Semaun. Selesai mengikuti kongres tersebut, Tan Malaka ikut Semaun ke Semarang, Tan Malaka juga mendirikan sekolah di Semarang atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam Merah, sekolah yang disebut sekolah rakyat itu, memiliki kurikulum yang diadopsi dari sekolah Uni Soviet.
Chapter 2
PKI
Pada awal tahun 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan pekerja menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia, namun ia gagal dan Tan Malaka ditangkap oleh Belanda, sanksinya adalah pengasingan internal / eksternal. Dia memilih pengasingan eksternal dan berangkat ke Belanda. Pada bulan Mei 1922, Semaun mengatur semua serikat buruh untuk membentuk satu organisasi. Dan Serikat organisasi pekerja seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) terbentuk pada tanggal 22 September. Di tahun 1924, Nama partai ini berubah menjadi Partai Komunis Indonesia. Pada November 1926, PKI memimpin pemberontakan melawan kolonial Belanda di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Tan Malaka tidak setuju dan menolak tegas dengan pemberontakan tersebut, dia memprediksi bahwa pemberontakan itu akan gagal karena menurutnya anggota PKI di Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Karena penolakan tersebut Tan Malaka dicap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan revolusi Rusia. Pemberontakan ini berakhir dengan kehancuran yang brutal oleh Belanda, ribuan orang terbunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan.
Pada tahun 1927, PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintah Belanda, kemudian PKI bergerak dibawah tanah. PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri terutama karena banyak pemimpinnya yang dipenjara. Karena terlalu Radikal terhadap pemerintahan nama Tan Malaka menjadi momok bagi Belanda, ia diburon Belanda selama bertahun-tahun. Hampir setengah hidupnya ia habiskan dengan bersembunyi, ia memimpin gerakan bawah tanah dan membuat nama samaran. Dan ia juga menjadi wakil komintern untuk Asia Tenggara, jabatan ini mengharuskan dia berkeliling dunia. Tan Malaka pergi ke Hongkong dengan menggunakan nama samaran Ong Soong Lee, ke Singapura dengan nama Hasan Gozali, di Filipina ia memakai nama Alisio Rivera, dan di Tiongkok dengan nama Ossorio. Selama di Tiongkok, dia menulis bukunya yang paling terkenal yang berjudul “Naar De Republiek Indonesia.” Buku inilah yang menurut isu beredar kelak menjadi referensi bagi Soekarno dalam merumuskan bentuk pemerintahan Indonesia setelah merdeka. Karena itulah, Tan Malaka disebut sebagai The True Founding Father of Indonesia atau Bapak Republik Indonesia.
Untuk melengkapi sejarah PKI, kita harus lompat ke tahun 1965. Semenjak kemerdekaan Indonesia, Partai Komunis Indonesia menjadi semakin radikal, hal ini disebabkan oleh niat mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis, akan tetapi dalam sidang BPUPKI, negara sudah menentukan ideologi Pancasila sebagai pondasi. Untuk menegakkan ideologi komunis, PKI masuk ke dunia politik dengan mengikuti pemilu di tahun 1955, tetapi niat mereka terendus oleh pemerintah, namun PKI menjadi semakin frontal melawan pemerintahan Indonesia hingga memicu kejadian Gerakan 30 September (G30SPKI) yang amat sangat terkenal. Saat itu PKI merupakan salah satu partai komunis terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 20 juta anggota gabungan. Pada malam hari tanggal 30 September - 1 Oktober 1965, sekelompok pemuda menculik 7 jendral TNI, PKI diduga menjadi dalang dibalik peristiwa ini, 3 dari 7 jendral tersebut yakni, Ahmad Yani, M.T. Haryono, dan D.I Panjaitan terbunuh di rumah mereka, sementara Soeprapto, S. Parman, Pierre Tendean, dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup. Abdul Haris Nasution yang merupakan target utama berhasil melarikan diri saat disergap. Meski begitu putrinya Ade Irma Suryani Nasution tewas dibunuh. Mayat-mayat ini dibuang ke dalam sumur di lubang buaya. Buntut dari peristiwa ini adalah pembunuhan massal 1965 yang menewaskan sekitar 500.000 - 1 juta penduduk sipil baik anggota PKI maupun non-komunis. Dan jendral Soeharto diduga merupakan tokoh utama pembantaian ini. Rangkaian peristiwa ini menjadi noda besar dalam sejarah Indonesia. Kita kembali lagi ke Timeline cerita.
Pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang menyerang pangkalan laut Amerika Serikat di pelabuhan Pearl Harbour untuk melumpuhkan kekuatan sekutu seperti Amerika, Inggris, dan Belanda. Serangan tersebut sukses besar, ini menjadi titik awal perang Asia Pasifik dan menjadi salah satu sebab khusus terjadinya perang dunia ke-2. Pada tanggal 8 Desember 1941, Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Jepang berhasil memukul mundur Belanda dari Indonesia di tahun 1942. Pada tanggal 8 Maret 1942, dilakukan perundingan antara pihak Belanda dan Jepang, hasilnya tercapai kapitulasi Kalijati yang menandai berakhirnya kekuasaan Hindia-Belanda di Indonesia dan diganti oleh Jepang. Merasa kondisi Indonesia sudah mulai aman dari pihak kolonial, Tan Malaka pulang ke Indonesia. Ia tinggal di rawa jati dekat pabrik sepatu di kalibata, Jakarta. Ia berdagang buah untuk melihat kehidupan rakyat Indonesia dari bawah. Dari Kalibata, Tan Malaka bergerak ke Bayah, Banten menjadi juru tulis dan pengurus administrasi Romusa. Kali ini ia menggunakan nama “Ilyas Husein,” ternyata Jepang lebih kejam dari Belanda, banyak Tan Malaka palsu buatan Jepang untuk memprovokasi pengikut Tan Malaka. Jepang mempelajari sosok Tan Malaka dan memburunya serta pengikut PKI, sekali lagi Tan Malaka harus bersembunyi. Tan Malaka menulis buku berjudul Materialisme, Dialektika, dan Logika (MADILOG), buku ini bertujuan untuk mengubah pola pikir rakyat Indonesia dari pemikiran mistis ke pemikiran rasional.
Tahun 1943, Tan Malaka pergi ke Bayah, Banten untuk bersembunyi. Tahun berikutnya 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah untuk memberikan pidato, Tan Malaka menjadi panitia penyambutan Soekarno Hatta.
Chapter 3
Kemerdekaan IndonesiaAkhir tahun 1945, Belanda yang membonceng sekutu perlahan-lahan kembali ke Indonesia. Kedatangan ini mendapat berbagai tanggapan, rakyat berpikir kalau Belanda akan menjajah lagi tapi Soekarno, Hatta dan Sutan Sjahrir memilih jalan diplomasi. Keputusan kabinet Sjahrir ini membuat Tan Malaka gerah, Jendral Besar Soedirman pun tak kalah gerah, kedua orang hebat ini tak habis pikir kenapa Sjahrir masih ingin melakukan perundingan dengan Belanda? Kenapa tidak dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka? Apalagi saat itu ada desas-desus bahwa akan ada negosiasi batas mana yang diakui merdeka dari Belanda. Ketakutan Tan Malaka benar terjadi, dalam perjanjian Linggarjati, Belanda hanya mengakui wilayah Indonesia atas Sumatera, Jawa dan Madura.
Pada tanggal 4 Januari 1946, Tan Malaka dan Jendral Besar Soedirman membentuk Persatuan Perjuangan, mereka menyerukan “lebih baik di bom atom dari pada merdeka kurang dari 100%!” Karena kabinet Sjahrir dianggap terlalu lembek pada Belanda, lahirlah peristiwa 3 Juli 1946 yaitu percobaan kudeta pertama dalam sejarah Indonesia, kudeta ini tergolong cukup brutal dan agresif, kelompok persatuan perjuangan berencana untuk menculik anggota kabinet Sjahrir, rencana ini terendus oleh pemerintah. Tan Malaka bersama Soebardjo dan Soekarni dijebloskan ke penjara, para pendukung jadi semakin marah. Tan Malaka dipindahkan ke berbagai penjara, dari Wirogunan, Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang. Disinilah dia menulis buku autobiografinya yang berjudul “Dari Pendjara ke Pendjara.”
Pada tanggal 27 Juni 1946, kelompok persatuan perjuangan berhasil menculik Sjahrir dan beberapa anggota kabinetnya, Soekarno menyatakan Indonesia dalam keadaan gawat darurat, ia menuntut pembebasan Sjahrir dan para menterinya. Pada tanggal 1 Juli 1946, Sjahrir dan para menterinya dibebaskan, sedangkan Tan Malaka sendiri baru dibebaskan 2 tahun kemudian, di tanggal 16 September 1948. Setelah bebas, Tan Malaka masih risau dengan keadaan Indonesia, ia bertemu dengan Jenderal Besar Soedirman di Yogyakarta untuk mengutarakan rencananya. Lalu ia mendirikan partai musyawarah Rakyat Banyak ( MURBA) pada tanggal 7 November 1948. Ia tidak tertarik pada jabatan, Soekarni ditunjuk untuk menjabat ketua partai.
Pada tanggal 12 November 1948, ia melakukan gerilya melawan Belanda. Soedirman memberinya surat pengantar dan 1 regu pengawal. Surat itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur, jendral Sungkono, oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Namun ia memutuskan untuk pergi ke Kediri. Kerasnya Tan Malaka menolak cara Soekarno Hatta justru dinilai membahayakan Indonesia, kini dia tidak hanya menjadi buron oleh Belanda, tetapi juga negeri yang ia gagas sendiri, saat menyusuri Gunung Wilis, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya. Pada tanggal 21 Februari 1949, Tan Malaka ditembak mati oleh TNI di Kediri ketika sedang bergerilya, Dieksekusi oleh Suradi Tekebek. Menurut penelitian Harry A. Poeze, kematian Tan Malaka itu kontroversi. Beberapa pendapat mengatakan bahwa PKI berada di balik kejadian ini, mengingat PKI marah atas pengkhianatan Tan Malaka. Adapula pendapat yang mengatakan bahwa kematiannya diakibatkan karena perintah yang tidak jelas. Pada saat itu Tan Malaka disebut sebagai aktivis pergerakan yang berbahaya sehingga harus dihentikan dan bila ada perlawanan, boleh menggunakan hukum Militer.
Pada tanggal 28 Maret 1963, Tan Malaka diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden no.53 tahun 1963. Pada masa orde baru nama Tan Malaka dihapus dari buku-buku pelajaran sejarah di sekolah karena dianggap sebagai tokoh PKI, namun gelar pahlawannya tidak dicabut. Sampai sekarang kematian Tan Malaka masih misterius. Pada tahun 2009 makam yang diduga kuburan Tan Malaka ditemukan di Kediri. Pernah dicoba tes DNA tapi hasilnya masih belum 100% cocok karena jasadnya sudah terkubur selama 60 tahun dan sampelnya telah terkontaminasi dengan lingkungan sekitar, namun Poeze yakin itu adalah Tan Malaka.
Cerita ini hanya sebagian kecil dari sejarah hidup seorang Tan Malaka. Era sekarang, mungkin Harry A. Poeze-lah yang paling mengenal sosok Tan Malaka. Poeze sangat terobsesi dengan beliau, bahkan dia sampai menghabiskan 40 tahun lebih untuk meneliti seorang Tan Malaka.
Oleh: Hary Elta Pratama
September,2020
Komentar
Posting Komentar